PENGALAMAN DAN CATATAN PERJALANAN S3 TAHUN 2011 ~ 2014
Halaman ini akan saya persembahkan khusus untuk mendokumentasikan perjalanan studi doktoral saya di Jepang. Di halaman ini, akan saya dokumentasikan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi saat saya studi, berdasarkan urutan waktu. Beberapa hal yang mendorong saya untuk mendokumentasikan perjalanan hidup ini adalah:
1) Supaya bisa diambil hikmahnya oleh generasi penerus kelak.
2) Memberikan gambaran yang subjektif tentang pengalaman studi di Jepang
3) Menjadi pembanding beban studi doktoral di negara lain.
Mengapa saya melakukannya? Saya terinspirasi oleh beberapa tulisan yang dibuat oleh para pelajar S3 di Jepang yang dengan tekunnya mendokumentasikan perjalanan studinya sehingga bisa menjadi referensi yang sangat layak (tapi tidak resmi) untuk para juniornya. Misalnya saja beberapa yang saya temukan di sini:
1. 博士への長いかもしれない道 2000年度版
2. 博士への長い道 東海大学連合大学院理工学研究科(課程博士)の場合(2007年度版)~学位取得編
3. 博士への長い道のり慶應SFC2000年度編
Edisi bahasa Indonesia bisa dibaca di sini:
1. Pengalaman mengikuti pendidikan S1, S2, dan S3 di Jepang
(oleh Dr. Anto S. Nugroho)
2. Kiat-kiat Sekolah di Jepang
(oleh Dr. Arief B. Witarto)
Dari tulisan-tulisan berbahasa Jepang di atas, saya mengakui betapa luar biasanya bangsa Jepang dalam budaya tulisnya. Di Jepang, hampir semua hal bisa kita temukan informasinya karena semuanya tertulis. Namun terkadang yang menjadi masalah adalah kendala bahasa yang kita miliki. Seiring dengan perkembangan teknologi, Google Translate berperan besar dalam akses informasi tanpa batas geografis dan kendala bahasa.
Tulisan saya di halaman ini semoga bisa mengisi kekosongan informasi studi S3 di Jepang dalam bahasa Indonesia. Tentu sangat banyak kekurangannya. Tapi saya berharap, sedikit yang saya tulis ini bisa bermanfaat untuk mereka yang akan menempuh studi doktoral di Jepang.
Selamat menyimak dan semoga bermanfaat
I. Sekilas kehidupan studi di Jepang
Studi doktoral di Jepang tidak berbeda dengan studi doktoral di negara yang lain. Dalam sudut pandang saya sebagai mahasiswa doktoral di Jepang, studi doktoral di Jepang memerlukan persiapan yang cukup dari sisi akademis maupun problem solving kehidupan sehari-hari. Mengapa demikian? Dari pengalaman selama hampir 3 tahun di Jepang, studi doktoral tidak hanya berurusan dengan “pandai dan tidak” atau “pintar dan bodoh”. Ada banyak faktor-faktor non-akademis yang sangat perlu diperhatikan, apalagi jika kita berencana untuk membawa serta keluarga kita ke Jepang.
Faktor pertama yang perlu kita perhatikan adalah memperhitungkan jarak akomodasi dengan jarak kampus. Beberapa universitas menyediakan dormitori dengan harga murah untuk para mahasiswa. Namun demikian, para mahasiswa hanya diperbolehkan tinggal di dormitori paling lama 6 bulan, atau bisa juga 1 tahun. Hal ini tentu perlu diperhitungkan dengan baik. Ada kalanya kita harus pindah ke rumah susun (danchi), atau apartemen privat (apaato / mansion) setelah melewati masa ijin tinggal di dormitori. Oleh karena itu, sekali lagi, kita perlu memperhitungkan jarak akomodasi dan kampus kita supaya tidak terlalu lama membuang waktu perjalanan di kampus.
Beberapa pengalaman dan catatan tentang kehidupan sehari-hari sudah saya dokumentasikan secara khusus di halaman Japan Guide. Silahkan merujuk ke halaman tersebut. Kalau yang Anda cari adalah bagaimana cara melanjutkan studi di Jepang dan mencari beasiswa ke Jepang, silahkan lihat halaman ini.
II. Pola studi doktoral di Jepang
Studi doktoral di Jepang mengikuti pola umum sebagai berikut :
- Pada hakikatnya, studi doktoral adalah proses training kepada mahasiswa untuk mempersiapkan mahasiswa menjadi peneliti profesional yang mampu memecahkan masalah dengan penalaran ilmiah. Studi doktoral terkadang tidak memandang latar belakang mahasiswa, apakah ia berasal dari praktisi atau akademisi perguruan tinggi. Kurikulum doktoral di satu universitas berbeda dengan kurikum di universitas lain. Karena nature-nya adalah training untuk melakukan riset, porsi terbesar dari aktivitas studi doktoral adalah penelitian.
- Terkadang program doktoral hanya mensyaratkan mahasiswa untuk mengikuti seminar gabungan (Kyodo Zemi) tanpa ada keharusan untuk ikut pelajaran (kelas). Namun, beberapa universitas masih mensyaratkan program kuliah berbasis kredit per semester yang harus diikuti oleh mahasiswa doktoral.
- Di beberapa universitas, mahasiswa doktoral diberi kewenangan untuk mengelola resources alat laboratorium dan manusia-nya, misalnya: ia diberi kewenangan untuk mengatur tugas mahasiswa S2 dan S1. Mahasiswa doktoral biasanya diberi prioritas lebih untuk membantu Profesor menjalankan tugas-tugas pengajaran. Dari pengalaman mengajar ini, mahasiswa doktoral bisa mengeksplorasi kemampuan presentasinya.
- Untuk lulus, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi selain disertasi. Syarat yang cukup penting adalah publikasi jurnal ilmiah. Jumlah publikasi jurnal ilmiah berbeda-beda antara satu jurusan/fakultas dengan jurusan/fakultas yang lain, meskipun dalam satu universitas.
- Pola bimbingan dan hubungan mahasiswa-Professor terjalin melalui seminar atau pertemuan rutin. Untuk menjaga ritme supaya pertemuan ini tetap ‘hidup’, kedua belah pihak harus aktif. Jika Professor cukup sibuk, jangan sampai kita pasif dalam melakukan laporan kemajuan riset. Kirim email dan laporkan apa yang kita capai. Jika Professor cukup aktif, imbangi dengan kontinuitas laporan setiap pertemuan. Jangan sampai mengatakan ‘pass’ atau ‘tidak ada progress’. Sampaikan progress sekecil apapun, meskipun tidak banyak.
Kira-kira, bagaimanakah wujud disertasi doktoral dan apa nilai penting yang harus dikandung dalam disertasi tersebut? Bagaimana cara kita menjalani kehidupan sebagai pelajar S3 ?
Sebelum Anda melanjutkan membaca artikel di halaman ini, saya pernah menceritakan pengalaman saya tentang disertasi doktoral dan planning-nya (berdasarkan sebuah buku tentang penulisan disertasi). Ada baiknya Anda membaca terlebih dahulu tiga artikel di bawah ini jika ingin mengetahui secara detail tentang disertasi doktoral :
- Artikel 1: Apa yang diharapkan dari sebuah disertasi doktoral ?
- Artikel 2 : Menjelaskan kebaruan dan kontribusi riset doktoral
- Artikel 3 : Mengapa perlu menyusun rencana publikasi saat studi doktoral ?
III. Laporan kemajuan riset
Setiap lab memiliki format yang berbeda dalam laporan kemajuan riset. Di lab saya ada format khusus yang dibuat untuk keperluan laporan kemajuan riset setiap bulannya. Untuk melihat contohnya, silahkan klik gambar di bawah ini.
IV. Kilas balik studi di Jepang tahun 2011 s.d. 2014
a. Tahun 2011
Bulan Juli tahun 2011 adalah kali pertamanya saya ke Jepang, sekaligus mengunjungi tempat di mana saya akan belajar nanti. Saya berangkat ke Jepang tanggal 20 Juli 2011 dan pulang ke Indonesia tanggal 25 Juli 2011. Saya tiba di Narita Airport pada tanggal 21 Juli 2011 dan untuk pertama kalinya pula langsung mencicipi “Narita Express” yang tiketnya sekali jalan berharga sekitar 320 ribu rupiah…… (– memang biaya hidup di Jepang cukup mahal, terutama transportasi dan akomodasi).
Tak banyak yang saya bawa di ransel. Selain laptop dan dokumen universitas, saya membawa beberapa perlengkapan kecil untuk keperluan sholat (sajadah dan kompas), passport, tiket kereta elektronik warisan istri (karena istri pernah ke Jepang sebelumnya), buku panduan bahasa Jepang praktis Collins Japanese, notes, dan ballpoint. Bisa dibilang saat itu saya benar-benar “buta huruf” dan “bisu” karena tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan pertanyaan atau berbicara dalam bahasa Jepang. Semuanya serba menakutkan dan satu hal yang saat itu membuat saya khawatir : takut kesasar !
Tanggal 22 Juli 2011 saya diundang ke Tokai University kampus Takanawa di Tokyo untuk bertemu dengan calon pembimbing akademik saya (Professor Kazuhiko Hamamoto) dan melihat suasana kampus baru. Kampus Takanawa berada di Minato-ku, Tokyo. Kampus ini, menurut saya lebih mirip dengan hotel dibandingkan universitas 😀 . Mengapa? Interior kampus yang cukup mewah, kamar mandi yang bersih, serta fasilitas untuk mahasiswa yang sangat lengkap sepertinya menjawab mahalnya biaya pendidikan yang harus dibayar oleh mahasiswa universitas ini. Saya beruntung sekali karena tidak harus membayar biaya pendidikan dari kantong sendiri. Alhamdulillah, saya mendapatkan dukungan finansial dari pemerintah Jepang selama tiga tahun (sampai dengan 2014).
Ada peristiwa yang cukup ‘menarik’ saat saya berkunjung ke Tokai University kampus Shonan (di prefecture Kanagawa). Professor saya memiliki dua ruangan lab dan kampus Shonan ini adalah lab pertama professor saya, sekaligus menjadi cikal bakal lahirnya beberapa riset di bidang virtual reality dan biomedical image processing. Saat saya akan masuk ke dalam lab, saya melihat ada daftar mahasiswa yang menjadi anggota lab. Saat itulah saya melihat nama saya tercantum dalam daftar mahasiswa doktoral (D1 = doktoral tahun pertama, D2 = doktoral tahun kedua, dan D3 = doktoral tahun ketiga).
Saya berkata dalam hati, “Oo… saya sudah menjadi anggota lab, meski belum resmi diterima dalam ujian masuk universitas. Aneh juga ya?” 😀
Tak lupa saya menyempatkan diri mengambil gambar lab yang saat ini sudah tinggal kenangan itu (ya, lab ini sudah ditutup akhir tahun 2013 dan saat ini Prof. Hamamoto mengoperasikan satu lab saja di Kampus Takanawa, Tokyo). Di ruangan inilah kelak awal perjalanan studi doktoral saya bermula. Ruangan ini sendiri sudah meluluskan setidaknya tiga mahasiswa doktor dan lebih dari sepuluh orang mahasiswa S2 (sampai dengan tahun 2014). Selain itu, ada lebih dari dua puluh orang mahasiswa S1 yang sukses menuntaskan penelitiannya di bawah bimbingan Prof. Hamamoto.
Kata para senior, perbedaan mahasiswa S2 dan S3 di Jepang itu terletak pada ujian masuk dan ujian kelulusannya. Mahasiswa S2 harus menempuh ujian masuk yang cukup ketat dan berat, sedangkan ujian kelulusannya ‘hanya’ presentasi thesis master selama 15-30 menit. Sebaliknya, mahasiswa S3 di Jepang menempuh ujian masuk dengan presentasi selama 15-30 menit, sedangkan ujian tertutup dan terbuka dilaksanakan dengan jadwal yang ketat dan pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Perkataan senior saya ternyata cukup akurat. Pada tanggal 24 Juli 2011, saya mempresentasikan rencana penelitian saya di depan dewan penguji dan dekan fakultas teknik Tokai University selama 30 menit. Pertanyaan-pertanyaan berhasil saya jawab dengan baik. Selain wawancara, saya juga harus melengkapi beberapa berkas dan administrasi sebelum diterima menjadi mahasiswa doktoral di Tokai University.
Tanggal 1 Agustus 2011 saya menerima surat elektronik dari Tokai University yang menyatakan saya resmi diterima sebagai mahasiswa doktoral. “Alhamdulillah, ya Allah…”, begitulah saya berucap dalam hati. Meskipun secara tidak resmi saya sudah menjadi anggota lab Prof. Hamamoto, saya belum merasa tenang jika belum menerima letter of acceptance dari universitas.
Pada tanggal 28 September 2011, saya untuk kedua kalinya berangkat ke Jepang bersama istri. Tanggal 29 September 2011 saya menjejakkan kaki di Narita Airport dan itulah hari pertama saya sebagai mahasiswa doktoral di Jepang. Sejak hari pertama itulah, saya memantapkan niat dalam diri pribadi untuk bisa menyelesaikan perjalanan studi S3 dalam waktu tiga tahun.
Pada tanggal 3 Oktober 2011, untuk pertama kalinya saya mendiskusikan rencana penelitian dan syarat kelulusan yang diperlukan. Di universitas saya, syarat kelulusan mahasiswa doktoral adalah:
1) menyelesaikan seminar gabungan (kyodo zemi);
2) menyelesaikan disertasi ;
3) mengirimkan paper untuk 1 jurnal internasional dan 1 jurnal nasional, atau
mengirimkan paper untuk 1 jurnal internasional dan 2 seminar internasional ter-indeks
IEEEXplore / ACM dan Scopus. Impact factor / SJR jurnal ditentukan oleh pembimbing. Jadi, jumlah jurnal bukan masalah, asalkan memenuhi persyaratan kualitas.
4) lulus dalam ujian tertutup dan ujian terbuka (PhD judgment)
Di sinilah sebenarnya pentingnya pembimbing akademik. Pembimbing akademik adalah orang yang mampu memberikan arahan kepada mahasiswa doktoralnya untuk merancang time schedule dan target-target publikasi yang ingin dicapai. Setiap target publikasi perlu memiliki nilai kebaruan (novelty) dan di sinilah mahasiswa bisa mendiskusikan tema-tema yang akan menjadi pembahasan utama dalam publikasi tersebut. Pada saat itu, saya mencatat semua yang diutarakan oleh pembimbing saya, berikut jadwal studi yang akan saya jalani selama tiga tahun di Jepang.
Selain jadwal yang jelas, riset di Jepang membutuhkan dokumentasi yang baik. Hal ini sebagai salah satu cara untuk “mengikat ide” penelitian dan melakukan perancangan / disain algoritma atau eksperimen yang akan kita laksanakan. Saya sendiri memiliki dua buah buku: research log dan schedule book. Research log berisi semua catatan penelitian saya: mulai dari algoritma, disain eksperimen, peralatan elektronik yang dibutuhkan, catatan meeting, sampai dengan coretan kecil tentang apa yang perlu dilakukan dalam sebulan. Schedule book berisi rencana penelitian dari hari ke hari, serta kegiatan-kegiatan lain di luar penelitian.
Gambar-gambar di atas adalah beberapa coretan saya di reseach log untuk mendokumentasikan disain algoritma dan prototype 3D gaze tracking versi 1.0. Tema penelitian saya berkisar seputar pemanfaatan arah pandangan mata untuk mendeteksi cybersickness yang terjadi di lingkungan virtual. Karena alat gaze tracker yang dijual di pasaran tidak memungkinkan untuk digunakan dalam penelitian ini, mau tidak mau saya harus membuat alat sendiri dan di sinilah tantangan terbesar yang saya hadapi selama menjalani studi doktoral.
Selain riset di lab, saya juga harus mengikuti pelajaran bahasa Jepang dasar mulai pukul 09.20 sampai dengan pukul 15.10. Pukul 16.00 saya mulai masuk lab dan biasanya keluar dari lab pukul 23.00. Begitulah ritme kehidupan saya selama satu semester pertama dan sangat menguras tenaga. Dua buku bahasa Jepang yang saya gunakan di kelas (Minna no Nihongo) akhirnya berhasil dituntaskan selama 5 bulan dan sedikit banyak membantu saya untuk berkomunikasi ‘ala kadarnya’ selama tinggal di Jepang. Saya tak pernah menyesali investasi waktu dan tenaga yang saya lakukan saat itu karena pada akhirnya saya bisa membantu mengurus beberapa keperluan dan administrasi keluarga yang membutuhkan kemampuan bahasa Jepang verbal (setidaknya saya merasakan lebih mudah berbicara dibandingkan menulis kanji 🙂 ).
b. Tahun 2012
Pada bulan Januari 2012, saya mulai merasakan adanya perkembangan dalam penelitian yang saya lakukan. Pada saat itu, saya berhasil membuat prototipe perangkat keras 3D gaze tracking dan menulis program dalam bahasa C++. Namun tahap awal ini belum cukup menggembirakan karena tidak ada hasil yang bisa saya tulis untuk publikasi. Meskipun demikian, saya berusaha memeras otak untuk bisa mengirimkan setidaknya satu buah paper seminar internasional.
Untuk menulis satu paper seminar internasional, saya membutuhkan bahan yang cukup. Satu-satunya cara yang bisa saya lakukan dalam waktu singkat adalah dengan melakukan simulasi atas algoritma yang saya rancang. Dengan berbekal sebuah buku robotika dan perangkat lunak Matlab, saya mencoba mensimulasikan algoritma dan menampilkan hasilnya dalam berbagai macam grafik dan tabel. Simulasi itu pada akhirnya membuahkan hasil dan pada tanggal 29 Februari 2012 pukul 21.00 saya berhasil mengirimkan paper pertama saya. Yatto! 🙂 – saya cukup lega dengan progress saya waktu itu.
Pada bulan Februari 2012, saya juga mengikuti seminar gabungan (Kyodo Zemi) periode pertama. Kyodo zemi ini berisi short lecture yang disampaikan oleh seorang professor tentang sebuah tema penelitian. Kita diminta untuk merangkum presentasi tersebut, mengerjakan tugas dari professor yang bersangkutan, dan mengirimkan jawabannya melalui email. Beberapa professor mempresentasikan penelitiannya dalam bahasa Inggris. Tapi ada beberapa professor yang keukeuh menggunakan bahasa Jepang. Untuk yang kedua ini, saya ‘angkat tangan’ (karena istilah-istilah teknis terlalu susah dipahami untuk saya yang hanya mampu berbicara ‘ala kadarnya’). Untungnya, ada beberapa mahasiswa Jepang peserta Kyodo Zemi yang berbaik hati membantu kesulitan saya dalam menerjemahkan ‘perintah tugas’ dari professor tersebut.
“Hontou ni tasukarimashita! Doumo arigatou gozaimasu !!”
Bulan April 2012, untuk yang kedua kalinya saya dan Prof. Hamamoto melakukan evaluasi terhadap target yang harus kita capai. Pada waktu itu, saya belum berhasil mengirimkan paper untuk jurnal nasional dan hanya berhasil mengirimkan satu buah paper seminar internasional saja (hasil belum diketahui). Kami berdua mengubah jadwal publikasi dan saya diberi kesempatan enam bulan (sampai September 2012) untuk mendapatkan satu publikasi jurnal nasional. Selain itu, saya juga harus berpikir tentang tema utama untuk jurnal internasional yang akan dikirimkan pada akhir Maret 2013. Tekanan studi saat itu mulai naik dan saya mulai menjalani hari-hari sibuk yang tidak biasa : 2 hari menginap di lab dan pulang di hari berikutnya. Terkadang saya tetap berangkat ke lab pada hari Sabtu demi mengerjakan penelitian saya yang ‘bermasalah’ (tidak sesuai target).
Pada bulan April itu pula, saya menuliskan semua rencana yang akan saya kerjakan dalam schedule book. Buku ini memuat tabel rencana tahunan dan hari-hari libur di Jepang. Hal ini sangat membantu saya untuk merancang jadwal penelitian dengan sangat teliti dan akurat. Selain rencana tahunan, schedule book juga menyediakan kolom-kolom rencana harian dalam satu bulan. Hal ini juga membantu saya untuk menuliskan jadwal harian atau agenda yang saya jumpai dalam satu minggu. Perencaan seperti inilah yang saya rasakan sangat efektif untuk mengejar target ketertinggalan saya.
Di Jepang, saya merasakan waktu menjadi hal yang mahal. Selain karena saya harus menempuh perjalanan yang jauh (2 jam perjalanan dari rumah ke kampus, dan 2 jam perjalanan dari kampus ke rumah = total 4 jam perjalanan di kereta), saya juga harus bisa mengatur tenaga dan kesehatan. Masalah lain, ternyata saya harus merancang ulang prototipe hardware 3D gaze tracking saya, sebab pengujian yang saya lakukan menunjukkan prototipe versi 1.0 tidak memungkinkan untuk digunakan secara “praktis” dan “reliable”. Boleh dibilang, semester 2 dan 3 (April 2012 – April 2013) adalah masa-masa “berat” dalam studi doktoral saya.
Selama studi doktoral, saya mencari berbagai macam literatur yang mendukung penelitian. Ada salah satu literatur yang luar biasa ‘mahal’ dan ‘langka’. Literatur itu adalah “Seeing in Depth” karya Professor Ian P. Howard. Buku ini terdiri dari dua volume dan satu volume berisi sekitar 1500 halaman !! Karena di Jepang tidak ada jasa fotokopi, dengan sangat terpaksa saya harus mem-fotokopi buku tersebut secara manual dengan mesin fotokopi kampus. Untungnya, saya tak harus menanggung sendirian biaya fotokopi-nya…..
Benar-benar pengalaman tak terlupakan 🙁
Pada bulan Juni 2012, saya menyempatkan diri untuk mengunjungi pameran tahunan VR Expo 2013 (Virtual Reality Expo 2013). Pameran ini memberikan kesan yang sangat kuat kepada dunia internasional bahwa Jepang adalah salah satu negara pengembang teknologi VR yang cukup maju. Selain dihadiri oleh produsen VR dari Jepang, beberapa produsen perangkat VR dari Eropa dan Amerika pun dengan antusias ikut berpartisipasi dalam acara ini. Suasana internasional terasa cukup kuat dengan berlalu-lalangnya berbagai macam ras manusia di acara ini 😀 . Oya, saya mendapatkan tiket gratis untuk acara ini. Tiket undangan bisa kami dapatkan dengan cuma-cuma karena laboratorium Prof. Hamamoto adalah salah satu pionir penelitian VR di Jepang, sekaligus pengguna alat-alat VR dari Christie Digital Japan 🙂
Pada tanggal 28-31 Agustus 2012, saya menyempatkan diri untuk menghadiri seminar internasional APCHI 2012 (The 10th Asia Pacific Conference on Computer-Human Interaction) di Kunibiki Messe, prefektur Matsue. Paper yang saya presentasikan di seminar ini adalah hasil simulasi yang saya kirimkan pada tanggal 29 Februari 2012. Secara umum, seminar berjalan lancar. Kabar baiknya, saya mendapatkan banyak kenalan dan menjalin relasi dengan peneliti dari Amerika, Malaysia, dan Jepang. Memang demikianlah salah satu tujuan utama saya menghadiri seminar: bertukar kartu nama dan mendapatkan relasi sebanyak-banyaknya 🙂 .
Pada awal bulan September 2012, lab Prof. Hamamoto mengadakan acara tahunan “summer camp” (夏合宿) di sekitar pegunungan Fuji. Acara ini lumayan menghibur dan memberikan pengalaman eksplorasi yang mungkin tak akan dijumpai di laboratorium lainnya. Selain acara non-formal dan makan bersama, anggota lab wajib memilih satu kegiatan ekstra : tenis, fuji forest adventure, atau sekedar bersepeda dan jalan-jalan. Saya dan beberapa anggota lab pria memilih forest adventure (sebenarnya ini olahraga ekstrim, di mana kami harus menggunakan tali pengikat dan carabiner untuk berayun dari satu pohon ke pohon lain. Mirip dengan tarzan 😀 ).
Pada bulan September pertengahan sampai dengan akhir September 2012, saya kembali melanjutkan pekerjaan riset meski saat itu universitas sedang liburan musim panas. Target yang ingin saya capai : mengirimkan paper ke jurnal nasional ATAU mengirimkan satu lagi paper ke seminar internasional IEEE. Untuk mengejar target tersebut, mau tidak mau saya harus mengorbankan hari-hari libur saya, berikut waktu-waktu yang cukup berharga bersama istri dan anak. Sungguh bukan hal yang mudah. Sempat saya berpikir untuk menyerah dan pulang saja ke Indonesia. Tapi untunglah, istri selalu memberikan dukungan moral yang luar biasa besarnya saat saya merasakan jenuh pada pekerjaan yang saya lakukan. Dukungan keluarga sangat penting…..
Pada bulan Desember 2012, saya berhasil menyelesaikan prototipe hardware versi 2.0. Saya merasakan adanya harapan yang besar saat berhasil menyelesaikan perangkat keras tersebut. Semangat yang tadinya surut kini mulai muncul kembali. Saya berusaha berpikir positif bahwa saya mampu menyelesaikan studi selama 3 tahun. Bulan Desember juga bertepatan dengan presentasi pertengahan studi (中間発表/ chukkan happyou) untuk seluruh mahasiswa doktoral angkatan 2011. Presentasi pertengahan studi dilaksanakan pada 15 Desember 2012. Untuk keperluan tersebut, saya harus menyiapkan sebuah poster besar berukuran A0 dan presentasi oral dalam waktu 10 menit. Alhamdulillah semuanya bisa saya jalani dengan baik. Kado akhir tahun yang manis 🙂
c. Tahun 2013
Pada bulan Januari-Februari 2013, saya berusaha keras menyelesaikan perangkat gaze tracking untuk keperluan eksperimen. Saya mencanangkan target yang cukup ambisius: semua data harus sudah saya dapatkan di akhir Februari 2013, sehingga saya bisa mulai menulis paper untuk jurnal pada bulan Maret-April, serta mengirimkannya sebelum tanggal 27 Mei 2013. Saya juga mengirimkan satu paper pendek ke IEEE EMBC 2013, sebuah seminar internasional terbesar untuk peneliti di bidang biomedical engineering
(* di buku catatan saya, tercatat paper terkirim secara elektronik tanggal 18 Januari 2013).
Pada tanggal 3-7 Juli 2013, saya mendapatkan sebuah kesempatan yang sangat berharga untuk menghadiri seminar internasional IEEE EMBC 2013. Seminar terbesar di bidang biomedical engineering tersebut dihadiri lebih dari 2000 peserta dari berbagai negara. Saya termasuk salah satu peserta yang beruntung karena berhasil mempresentasikan paper dalam format oral presentation. Peserta lain dengan topik paper yang tidak terlalu berhubungan dengan bidang yang diminati di seminar ini harus menerima keputusan komite seminar untuk mempresentasikan karyanya dalam format poster presentation. Pengalaman ini saya dokumentasikan dalam satu halaman khusus yang bisa Anda baca di sini.
Pada bulan Agustus 2013, pengumuman paper untuk jurnal internasional tiba. Bulan itu adalah bulan yang diliputi kebahagiaan. Paper yang saya kirimkan di sebuah jurnal internasional diterima dengan revisi minor. Seketika itu juga saya melakukan sujud syukur dan merasakan betapa besarnya “kemudahan” yang saya terima setelah mengalami satu tahun “masa suram” (April 2012-April 2013) karena penelitian saya saat itu mengalami banyak hambatan.
Pada bulan Oktober 2013, saya berkesempatan pulang kampung ke Yogyakarta sekaligus mempresentasikan paper saya di IEEE ICITEE 2013. Alhamdulillah, saya kembali bersyukur bisa menengok kampung halaman dengan dukungan finansial dari lab. Selain mempresentasikan paper, saya juga berkesempatan bertemu dengan teman lama, kolega saya semasa kuliah, serta bapak ibu dosen di Jurusan TETI UGM 🙂
Pada bulan Desember 2013, saya melakukan ekserimen terakhir untuk melengkapi disertasi doktoral. Foto di atas diambil bersama Suzuki Satoshi, seorang mahasiswa S3 yang telah memberikan bantuan teknis dalam pengambilan data. Eksperimen ini adalah implementasi langsung dari alat yang saya rancang untuk pengukuran cybersickness saat menonton 3D video. Dengan dukungan yang luar biasa dari anggota lab, saya berhasil menyelesaikan eksperimen ini dengan baik. Data-data yang saya dapatkan pun boleh dibilang jauh lebih lengkap dan lebih baik daripada eksperimen sebelumnya yang saya lakukan pada bulan Januari-Februari 2013. Lagi, sebuah kado akhir tahun yang manis untuk kami 🙂
d. Tahun 2014
Tahun 2014 diisi dengan pekerjaan menyelesaikan disertasi doktoral. Saya mulai menulis disertasi pada bulan Desember 2013 dan secara resmi menyelesaikan draft pertama di akhir bulan Februari 2014. Pada bulan Maret-April 2014, saya menyelesaikan tiga kali pertemuan pre-PhD judgment :
- Pertemuan pertama dilakukan pada hari Senin tanggal 17 Maret 2014 di kampus Takanawa, meeting room lantai 3, gedung 1, pkl.11.00~14.00. Pertemuan pertama diisi dengan presentasi konten disertasi secara menyeluruh. Penguji terdiri dari lima orang professor. Saya mempresentasikan konten disertasi selama 1 jam, disambung dengan uji kebaruan (novelty test) dan diskusi selama 2 jam. Ujian pertama lumayan berat dan cukup banyak pertanyaan yang harus saya jawab.
- Pertemuan berikutnya dilaksanakan pada hari Senin tanggal 31 Maret 2014 di tempat yang sama. Pertemuan kedua dilaksanakan pkl.10.00~11.30. Dibandingkan dengan pertemuan pertama, pertemuan kedua dilakukan dalam suasana yang lebih cair. Beberapa revisi disertasi saya sampaikan dengan jelas, dan beberapa pertanyaan saya jawab secara ringkas dan jelas. Meskipun demikian, masih ada beberapa revisi dari komite penguji.
- Pertemuan ketiga dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 12 April 2014 pukul 10.00~11.30 di tempat yang sama. Pada pertemuan yang terakhir ini, saya menyampaikan semua revisi yang diminta oleh komite penguji. Saya juga menyampaikan format terakhir dari disertasi yang saya tulis sebelum diserahkan ke universitas untuk keperluan yudisium.
Tanggal 25 Maret 2014 : saya menyerahkan tiga bendel draft disertasi ke Prof. Hamamoto untuk dibawa universitas. Disertasi ini akan diuji di hadapan dekan fakultas dan tim komite (lima professor). Apabila proses yudisium ini selesai (sekitar bulan Mei 2014), saya diperbolehkan untuk mengikuti ujian terbuka (公聴会) pada bulan Juni 2014.
Tanggal 28 Juni 2014: akhirnya saya berhasil melewati ujian terbuka dengan lancar. Ujian terbuka dilaksanakan mulai pukul 09:30 s.d. 11:00. Hari Sabtu pagi, saya mencoba berangkat dari rumah lebih awal untuk bisa mendapatkan tempat duduk di dalam kereta. Meskipun diiringi hujan yang cukup deras, akhirnya saya bisa sampai di kampus tepat waktu. Alhamdulillah. Tak terasa hampir tiga tahun perjuangan studi di Jepang. Kini saya menunggu wisuda yang akan dilaksanakan pada tanggal 18 September 2014.
Tanggal 18 September 2014 : Wisuda S3. Ada rasa bahagia, haru, dan juga sedih. Bahagia, karena perjuangan saya selama hampir 3 tahun berakhir sesuai dengan yang diharapkan. Terharu, karena istri pun mampu menyelesaikan studi S3-nya pada saat bersamaan. Sedih, karena harus meninggalkan Jepang dan menghadapi tantangan baru di tanah air. Untuk saya dan keluarga, studi doktoral adalah proses transformasi diri yang tak ternilai harganya. Proses pendewasaan secara mental, spiritual, maupun akademis. Tentu beda rasa: seorang mahasiswa S3 yang tak perlu bekerja paruh waktu dan hanya perlu duduk riset saja, dengan seorang mahasiswa S3 yang harus kerja paruh waktu, bergelantungan di atas kereta selama 4 jam sehari untuk perjalanan ke kampus dan pulang ke rumah, meninggalkan keluarga di hari libur dan akhir pekan, mengasuh anak, sekaligus riset.
Hasil akhirnya pun tentu berbeda, sekalipun sama-sama mendapatkan ijazah S3.
Semoga artikel ini bermanfaat untuk para pembaca sekalian.
Yakinlah, di balik kesulitan ada kemudahan dan mintalah kepada Yang Maha Kuasa untuk menguatkan kita dalam setiap episode kehidupan. Sebagaimana kata pepatah: “What didn’t kill us will make us stronger!“